Mengikhlaskan kehilangan

Комментарии · 125 Просмотры

Mengikhlaskan kehilangan yang sulit untuk dilakukan


Kematian tidak menyelesaikan masalah. Bahkan setelah mati pun masalah tetap ada dalam dirimu. Tidak ada yang abadi di dunia ini ataupun di dunia yang lainnya, karena yang abadi adalah masalah itu sendiri.

Saat gelap gulata menimbulkan kegelisahan di permukaan hati yang tandus, aku merasakan kesunyian perlahan mengendap mengambil segala tawa yang baru pecah tadi siang. Kulihat suamiku terbaring tanpa menutup mata, kelopak matanya enggan membungkus bola mata yang mulai kehilangan sinarnya. Mata yang setiap hari bertatap sendu pada foto yang terpajang di dinding kamar tidur kami. Foto itu adalah foto anak kami satu-satunya yang telah dikirimkan kepada Sang Pencipta beberapa tahun yang lalu.

Kepergiannya bukan hanya membawa jiwa dan raganya tapi sebagian jiwaku dan jiwa suamiku dibawa serta olehnya. Semenjak saat itu kami seperti lupa bagaimana rasanya tertawa karena benar-benar menikmati kesenangan. Semua tawa yang pecah saat ada kumpul-kumpul keluarga hannyalah kedok untuk menutup kesedihan yang amat dalam.Pernah suatu waktu aku terbangun di tengah malam. Mimpilah yang membuatku terbangun. Aku bermimpi, aku berjalan di sebuah jalan yang sepi. Tak ada siapa pun yang aku temui di jalan. Tidak sebelum sampai di ujung jalan itu. Hanya desiran angin berembus dan sayup-sayup bunyi dedaunan yang berdesakan karena tertiup angin. Tampaknya hidupku telah dikutuk dengan tenang. Lalu di ujung jalan itu di bawah sebuah pohon terhampar sebuah kursi panjang. Kulihat seorang pria tua duduk sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah beruban. Dia melihat ke arahku lalu memanggil.

“hai wanita malang, mampirlah sebentar.” kata pria tua itu sambil membersihkan permukaan kursi di sebelahnya.

Aku mengiakan permintaan pria tua itu dan duduk di sebelahnya. Tanpa basa basi pria tua itu berbicara.
“aku adalah pemegang kunci gerbang kematian. Setiap hari aku selalu kedatangan jiwa yang kehilangan harapan. Orang-orang yang tidak menyukuri pemberian Tuhan. Orang-orang yang mengemis kematian karena terlalu bodoh berasumsi. Mereka berpikir bahwa kematian adalah jalan keluar satu-satunya untuk mengakhiri beban kehidupan, padahal sebenarnya tidak. Tapi aku senang, karena dengan begitu usiaku akan bertambah dan pikir… pikir aku juga bisa membantu menghilangkan kesedihan mereka .”

“pak tua. Aku tidak mengerti apa yang Anda katakan. Tapi jika yang Anda maksud aku adalah orang yang putus asa, maka Anda benar. Semangat hidupku telah direnggut oleh nasib buruk beberapa tahun silam. Anakku satu-satunya dihampiri kematian dengan cara mengenaskan. Hatiku hancur. Aku merasa Tuhan tak adil” kataku.
Pria tua itu tersenyum gembira. Pipinya yang keriput mengembang.

“lalu, sekarang apa yang bisa kulakukan untukmu?” tanya pria tua itu.
“jika Anda bisa, aku ingin Anda memanggil malaikat pencabut nyawa, agar nyawa ini bisa terpisah dari ragaku yang rapuh”.
Lalu pria tua itu berkata “tunggulah partnerku tengah malam nanti di rumahmu. Dia akan dengan bahagia memisahkan nyawa dari ragamu. Sehingga engkau bisa merasa bebas dari penderitaan.”
Saat tengah malam tiba, masih dalam mimpiku, aku dengan gagah menunggu malaikat pencabut nyawa itu datang. Aku merasa tak sabar nyawa ini terbebaskan dari raga. Aku ingin tahu bagaimana rasanya mati, karena di dunia ini sudah tak ada lagi alasanku untuk hidup. Tapi sudah hampir lewat tengah malam, pencabut nyawa itu tak kunjung datang. “Kenapa keinginanku tak pernah terlaksana? bahkan keinginanku untuk mati pun tak terkabul” kataku dalam diam.

Di malam sesudahnya, masih di dalam mimpiku, aku kembali menunggu pencabut nyawa hingga tengah malam. Tapi hasilnya nihil, pencabut nyawa itu tak juga datang. Sepertinya Tuhan sudah tak menganggap aku ada. Aku adalah jiwa dan raga yang terbuang.

Lalu dimalam yang lain, masih di dalam mimpiku, aku mempersiapkan diri untuk mati. Kali ini aku tak berharap pencabut nyawa datang. Aku ingin mengakhiri hidupku sendiri dengan menggantung raga pada tali yang sudah kusiapkan. Niatku sudah bulat. Aku ingin mati. Bukankah sudah bayak manusia yang mengakhiri hidupnya sendiri? Aku baca di media sosial baru-baru ini begitu banyak anak muda yang mencabut nyawanya sendiri sebelum kematian merenggutnya. Aku rasa aku juga bisa melakukan hal yang serupa.

Aku mendekatkan kepala ke tali yang sudah kusiapkan, kemudian memasukkan kepala ke lingkaran tali yang kubuat. Saat ku hendak melepaskan pijakan kaki di atas kursi plastik yang kugunakan sebagai tangga untuk bisa mencapai tali yang tergantung, suara seorang pria dari belakangku menghentikan niatku. Aku menoleh, dia meneteskan air mata.

“mami, apa yang mami lakukan. Tolong jangan akhiri hidupmu.” Kata suamiku.“mami, kematian tidak menyelesaikan masalah. Bahkan setelah mati pun masalah tetap ada dalam dirimu. Tidak ada yang abadi di dunia ini ataupun di dunia yang lainnya, karena yang abadi adalah masalah itu sendiri, dan perihal suasana hatiku setelah kepergian putra kita, hatiku juga hancur sama seperti yang mami rasakan. Jadi aku mohon kemarilah, peluk aku dan hentikanlah niat mami untuk bunuh diri. Aku sangat mencintaimu.”
“aku ingin mati. Aku sudah tak mau hidup lagi. Hidup ini sangat menyiksaku. Bukankah papi juga merasakan hal yang sama? Bukankah kepergian putra kita membuat papi serasa mati? Atau ayah tidak peduli dengan kematiannya?” kataku.

Aku menangis. Embun di mataku menetes membasi pipihku yang mulai mengerut karena termakan usia. Lalu aku turun dari kursi, mendapati suamiku yang berdiri sambil menangis. Kupeluk raganya yang melelahkan. Tubuhnya memang tak lagi hangat. Namun kasihnya untukku masih bisa merasakan dari detak jantungnya yang kudengar. Di bola matanya yang mulai kehilangan sinarnya aku melihat alasanku untuk hidup.

Aku mengeratkan pelukan. Air mataku pun tak bisa kubendung. Aku terus menangis terisak-isak dan terus menangis. Menangis dan menangis. Di sela tangisan, kudengar sayup-sayup suara seseorang sedang memanggilku dengan lembut. “Mami. Mami..bangun mi.. Kenapa mami menangis?” aku bingung dan bertanya dalam hati “apakah ini mimpi? Tidak. Ini bukan mimpi. Ini adalah kenyataan” aku terus mengeratkan pelukanku di raga suamiku. Tapi sayup-sayup suara itu semakin terdengar jelas, dan akhirnya mataku perlahan-lahan terbuka. Lalu aku terbangun dari tidurku.

“mami sudah bangun? Tadi mami menangis dan terus memeluk papi. Mami pasti sedang bermimpi.” kata suamiku yang sambil memelukku.


Papi melepas pelukannya. Kemudian matanya menatap kosong ke atas langit tempat tidur sambil tersenyum. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu yang membahagiakan.

“ceritanya begini mi, di dalam mimpi papi, papi sedang berjalan di sebuah taman yang indah. Berbagai jenis bunga tumbuh di pinggiran kota di situ. Orang-orang yang berada di taman itu semuanya menggunakan pakaian serba putih dan mereka semua ramah-ramah. Setiap melompat dengan papi mereka pasti melempar senyum. Ada kesejukan yang mengalir di tempat itu. Tak pernah papi melihat tempat itu di kehidupan nyata. Lalu di tengah taman ada kerumunan orang yang sedang bercerita. Papi terus mengamati mereka dari jauh. Tiba-tiba salah satu dari mereka berdiri dan menunjuk tangan ke arah papi. Papi tidak bisa mengenali wajah pemuda itu karena pakaiannya yang serba putih apa lagi setelah terkena matahari senja yang membuat mata papi silau. Pemuda itu kemudian berlari ke arah papi. Betapa terkejutnya papi, saat pemuda itu sampai di depan mata papi, papi melihat raga putra kita. Ternyata pemuda itu putra kita. Dia bahagia tersenyum. Dia kemudian memeluk papi. Peluknya erat sekali. Banyak hal yang berubah dari putra kita. Dia kini semakin tinggi, semakin dewasa pula tutur katanya. Dia banyak menasihati ayah tadi.”“terus, di dalam mimpi itu papi melihat putra kita di mana?” tanyaku.
Mendengar itu aku menjadi tak sabaran.

Aku tak bisa berkata-kata lagi. Mulutku seperti terkunci, tapi air mata haru terus mengalir melalui pelupuk mataku. Mimpi dari suamiku membuat aku merasa lega.

“lalu, apa yang terjadi setelah itu pi?” tanyaku penasaran.
“saat kami sedang asyik berbicara tiba-tiba lonceng dari sebuah bangunan mewah yang terletak di sebelah barat bangunan itu berbunyi. Putra kita kemudian mengatakan kalau dia harus pergi. Sebelum pergi dia berpesan begini ‘papa tolong bilang sama mama jangan terus menangisi aku. Ikhlaskan saja. Aku di sini sudah bahagia bersama anak-anak Tuhan lainnya. Lagian jiwaku juga hidup di raga dari saudara-saudara sepupuku. Jadi bilang sama mama jangan bersedih, dan sekarang papa harus cepat pulang, saat ini mama sedang membutuhkan bantuan papa.' Ketika putra kita sudah mengatakan itu, tiba-tiba papi terbangun dari mimpi dan mendapati mama sedang menangis dalam keadaan tidur serta memeluk tubuh papi” tutup suamiku.

“terima kasih pi, karena sudah menyadarkan mami dari mimpi buruk.” Kataku sambil mengecup kening suamiku. “Sekarang tidurlah, mami juga mau tidur!” lanjutku.

Mataku cepat sekali tertutup. Pemicunya mungkin karena mendengar cerita mimpi bahagia dari suamiku.

Pada pagi hari nun damai, mentari menyingsing menepis dinginnya pagi. Nyanyian burung tekukur menemaniku menyapa pagi yang indah. Kulihat suamiku masih terlelap dalam tidurnya. Aku tak membangunnya, kubiarkan Dia menikmati istirahatnya karena selama ini jarang aku melihat tidur selelap ini. Lalu aku menggali ke ruang makan. Di ruangan itu duduk beberapa orang pemuda. Pemuda-pemuda itu adalah anak-anak dari saudaranya suamiku. Ya mereka adalah keponakanku. Mereka melihat ke arahku dan menyapa sambil tersenyum. Mengingat pesan anakku dalam mimpi suamiku membuat aku segera mungkin menemukan mereka untuk kupeluk. Aku merangkul mereka secara bersamaan. “kalian semua adalah anak-anakku” kataku yang membisik di telinga mereka.

Keponakan-keponakanku ini memang tidak bisa menggantikan anakku yang telah kembali kepada Sang Pencipta. Namun kehadiran mereka di tengah keluarga kecilku membuat aku dan suamiku cukup terhibur. Saat kesunyian mencoba merenggut kembali kebahagiaan dari kami selalu ada mereka yang menepisnya. Aku bahagia punya mereka. Meski terkadang di sela-sela saat aku hendak menutup mata, bayangan tentang kenangan bersama putraku seakan direka ulang dan aku pun terkadang sedih. Tapi itulah kenangan yang terkadang terputar dengan sendirinya dalam ingatan kita. Lagian ingat itu ada untuk dikenang?.

Cerpen Karangan : Eman Jabur

Комментарии